Akhir
“ Waktumu tak akan lama lagi. Mungkin
mukjizatlah yang akan membuatmu bertahan setelah hari ini,” begitulah kurang
lebih kata-kata yang terlontar dari mulut pria berjas putih dihadapanmu. Bermodalkan
secarik kertas diagnosa, dia memvonis umurmu seperti Tuhan saja. Sempat aku
dilanda ke khawatiran saat ku tatap wajahmu yang perlahan menunduk.
“ Silahkan hidupkan stopwatchmu
dan kita lihat berapa juta detik aku masih bisa menghirup oksigen,” kau berlalu
dengan percaya dirinya. Senyum yang tersimpul darimu akhirnya meyakinkanku
bahwa kau baik-baik saja.
Aku sedikit
takut dengan perkataan orang itu. Apa mungkin aku akan segera kehilangan dirimu
? Aku tertegun dalam lamunan diatas tumpukan jerami menggambar padang rumput
favoritku. Kemudian kau hadir tanpa sedikitpun keraguan. Tak ada satu detikpun
terlewatkan oleh bualan manis mu.
Kau buat aku
yakin bahwa jelas kau tak akan meninggalkanku. Aku tanpamu jelas bagai burung
tak bersayap. Kau belai lembut rambutku dengan sentilan menyentuh kalbuku. Kau hiasi
telinga ini dengan candaan khas sang prajurit. Kau sentuh kulit putihku dengan
lembut.
Namun sungguh
aku tak pernah menyangka, kesakitan itu saat ini aku rasakan. Kau menyuntikan
sesuatu dilengan kananku dan meninggalkanku begitu saja. Dua menit kemudian kau
datang kembali membuaiku dengan romansa khas senja hari. Ku kira kau akan
meminta maaf atas apa yang telah kau lakukan tadi. Tapi tak sedikitpun kata
akan menjelaskan tentang itu. Kau malah menyuntikkannya lagi ditempat yang
berbeda namun dengan rasa sakit yang lebih hebat.
“ Teganya kau lakukan ini padaku.
Mati saja sendiri jangan ajak aku bersamamu,” bentakku kepadanya kesal. Suntikkan
itu masih saja tertahan dan tak ada yang melepaskan. Aku mentapnya sinis.
Plaaaaak....
segera ku ayunkan tangan kearahnya. Saat itu adalah detik terakhirnya entah
sudah berapa juta detik dia bertahan. Sungguh aku sudah muak dengan suara
rayuan dan sentuhannya.
“Matilah kau,nyamuk sialan,”
Komentar
Posting Komentar